Sebuah Kajian tentang Reklamasi Teluk Benoa oleh MPM KBM Politeknik Negeri Bali (PNB)
Polemik terkait
rencana reklamasi teluk benoa berawal pada 8 Juli 2013 dengan beredarnya SK
Nomor 2138/02-C/HK/2012 tentang Rencana Pemanfaatan dan Pengembangan Kawasan
Perairan Teluk Benoa yang ditandatangani pada 26 Desember 2012. Saat itu
Kawasan Perairan Teluk Benoa saat itu masih berstatus konservasi. Penerbitan SK
tersebut bahkan menggunakan hasil kajian dari LPPM UNUD yang belum final,
sehingga penerbitan SK 2138 terkesan sangat tergesa-gesa. Kisruh rencana
reklamasi Teluk Benoa sejatinya tidak akan menjadi panjang hingga saat ini jika
Gubernur Bali berkomitmen pada ucapannya saat Diskusi Publik tanggal 3 Agustus
2013. Saat itu Gubernur Bali Made Mangku Pastika menyatakan bahwa akan menunggu
hasil kajian dari LPPM UNUD, jika hasilnya tidak layak maka rencana reklamasi
tidak akan dilanjutkan. Hasil kajian LPPM UNUD juga sejalan dengan hasil kajian
modeling yang dilakukan oleh Conservation International yang sama-sama
menyatakan bahwa Teluk Benoa memang tidak layak untuk direklamasi. Namun yang terjadi,
Gubernur Bali malah menerbitkan lagi SK 1727/01-B/HK/2013 tentang Izin Studi
Kelayakan Rencana Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan
Teluk Benoa kepada PT TWBI.
Konspirasi antara
investor, pemerintah daerah dan pemerintah pusat semakin jelas terlihat ketika
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Perpres No.51/2014 sebagai
perubahan atas Perpres No.45/2011 yang secara khusus mengubah status kawasan
Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi menjadi kawasan pemanfaatan. Perpres No.51/2014
tersebut dikeluarkan ditengah penolakan yang secara massif dilakukan oleh
masyarakat terhadap rencana reklamasi Teluk Benoa. Hirarki kebijakan seolah
berbalik, ketika Peraturan Presiden terbit untuk menyesuaikan dengan aturan
dibawahnya dalam hal ini SK Gubernur. Suara penolakan terhadap recana reklamasi
Teluk Benoa yang dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat seolah tidak
menjadi pertimbangan dalam penerbitan Perpres tersebut. Masyarakat terdampak
langsung atau masyarakat sekitar teluk seperti Desa Tanjung Benoa, Kelan,
Suwung dan Sidakarya bahkan secara tegas telah menolak rencana reklamasi Teluk
Benoa.
Tidak hanya dalam
proses perijinan yang penuh kejanggalan, kampanye-kampanye “greenwashing” yang
dilakukan oleh pihak investor dan para pendukung reklamasi juga sangat tidak
rasional. Rencana reklamasi berkedok revitalisasi menggunakan logika sesat
bahwa masalah sampah dan pendangkalan yang disebut oleh pihak pro reklamasi
dapat diselesaikan dengan mereklamasi Teluk. Apakah masalah sampah yang ada di
Teluk atau muara bisa diselesaikan di hillir? Apakah dengan mereklamasi Teluk Benoa
permasalahan sampah yang dibawa oleh 5 DAS yang bermuara di Teluk Benoa akan
selesai? Bagaimana mungkin masalah sedimentasi alami diselesaikan dengan
reklamasi, bukankah hanya akan menimbulkan masalah ekologis lain?
Reklamasi Teluk
Benoa akan menimbulkan berbagai masalah baik ekonomi, ekologi maupun sosial
budaya. Reklamasi Teluk Benoa akan menyebabkan degradasi kualitas lingkungan
karena fungsi kawasan perairan Teluk Benoa sebagai daerah tampungan banjir dari
5 DAS akan berkurang serta daerah pasang surut sebagai ekosistem mangrove yang
menjadi tempat pemijahan serta tempat
mencarimakan bagi beberapa jenis biota laut seperti udang, ikan, kerang dan
lain sebagainya. Janji manis yang disampaikan oleh investor tentang penyediaan
lapangan pekerjaan dan peningkatan Pendapatan Asli Daerah(PAD) juga tidak
disertai dampak yang akan ditimbulkan akibat dari aglomerasi kegiatan
pariwisata di kawasan tersebut seperti kemacetan yang akan menyebabkan polusi
serta masalah sosial lain akibat urbanisasi. Reklamasi Teluk Benoa juga akan
meningkatkan ketimpangan pembangunan antara Bali Selatan dan Bali Utara
sehingga akan memicu arus urbanisasi yang tinggi dan akan berdampak pada daya
dukung dan daya tampung lingkungan di Bali Selatan. Kementerian Pariwisata
telah menyatakan bahwa Bali Selatan kelebihan kamar hotel dan telah ditindaklanjuti
oleh Gubernur Bali dengan menerbitkan surat edaran agar 3 kabupaten/kota di
Bali Selatan melakukan moratorium akomodasi wisata yang tertuang dalam Surat
Gubernur Bali No 570/1665/BPM tentang Penghentian Sementara Pendaftaran
Penanaman Modal Untuk Bidang Usaha Jasa Akomodasi Pariwisata yang berlaku sejak
5 Januari 2011 hingga adanya kajian detail terhadap kebutuhan bidang usaha jasa
akomodasi.
Bali dikenal oleh
dunia karena alam yang indah serta budaya dan adat istiadat masyarakatnya.
Pergeseran orientasi pariwisata di Bali dari pariwisata alam dan budaya ke
pariwisata massal jelas akan mengancam pariwisata Bali sendiri. Pariwisata yang
akan dikembangkan oleh rencana reklamasi Teluk Benoa memperlakukan masyarakat
Bali bukan sebagai Subjek, melainkan hanya objek untuk diperkerjakan. Reklamasi
Teluk Benoa juga akan mengganggu keseimbangan ekologi serta aktivitas
masyarakat yang selama ini menggantungkan hidup dari Teluk Benoa baik untuk
aktivitas nelayan maupun wisata maritime seperti water sport. Hal tersebut jelas bertentangan dengan konsep
pembangunan berkelanjutan yang mempertimbangkan aspek ekologi serta
memaksimalkan peran serta masyarakat dalam pembangunan. Reklamasi di Teluk
Benoa juga merupakan cara investor untuk mendapatkan tanah dengan harga murah
di kawasan pariwisata.
Berdasarkan
pemaparan diatas, maka kami dari Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Politaknik
Negeri Bali mendorong agar:
1. 1. Presiden
Jokowi mengambil tindakan tegas untuk segera membatalkan dan mencabut Peraturan
Presiden Nomor 51 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 45
Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kawasan Perkotaan Denpasar,
Tabanan, Gianyar dan Badung sehingga mengembalikan fungsi kawasan Teluk Benoa
sebagai kawasan konservasi Perairan
2. 2. Semua
kementerian yang terkait untuk menghentikan segala upaya melanjutkan rencana
reklamasi Teluk Benoa seperti kajian AMDAL dan tidak memberikan celah kepada
investor untuk melanjutkan rencana reklamasi Teluk Benoa. (mpm-pnb)